Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan kaum kerabatnya secara ma'ruf. (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa. (Al-Baqarah II: 180).

Arti dan pengertian wasiat.

Perkataan wasiat itu berasal dari bahasa Arab, terambil dari kata was-sha. Artinya menurut ilmu bahasa ialah pesan, petaruh, nasehat, dsb. Adapun pengartiannya menurut istilah Syariah ialah: pesan terakhir yang diucapkan dengan lisan atau disampaikan dengan tulisan oleh seseorang uang akan wafat berkenaan dengan harta benda yang ditinggalkannya.

Berdasarkan pengertian umum dari ayat Al-Quran - seperti yang dikutib di atas - seorang muslim yang sudah merasa ada firasat akan meninggal dunia, diwajibkan membuat wasiat berupa pemberian (hibah) dari hartanya untuk ibu-bapak dan kaum kerabatnya, apbaila ia meninggalkan harta yang banyak. Timbul pertanyaan: Mengapa pada ayat tersebut dikhususkan wasiat tentang pemberian harta itu kepada ibu-bapak dan kaum kerabat (saudara dekat)? Bukankah ibu-bapak itu termasuk ahli waris dari seorang anak yang meninggal, yang sudah ada hak-hak dan bagiannya menurut hukum faraid, pembagian harta pusaka?

Dalam hubungan ini perlu diuraikan lebih dahulu sejarah dan latar belakang turunnya ayat tersebut.

Di jaman jahiliyah, kebanyakan bangsa Arab ketika sudah dekat ajalnya, mewasiatkan supaya memberikan hartabendanya kepada orang-orang yang jauh, yang tidak mempunyai hubungan darah dan keluarga dengannya. Ibu-bapaknya sendiri, anaknya dan kaum kerabat dekatnya tidak disebut-sebut dalam wasiat itu. Adapun motifnya karena menurut anggapan umum pada waktu itu perbuatan yang demikian itu adalah satu kebanggaan, yang menunjukkan tentang sifat kemurahan hati.

Untuk menertibkan sikap yang pincang dan berat sebelah itu, maka pada tahap pertama turunlah ayat tersebut (Al-Baqarah, ayat 180), yang menegaskan supaya berwasiat mengenai soal harta benda yang ditinggalkan itu untuk ibu-bapak sendiri dan keluarga yang dekat-dekat.

Sesudah itu, sebagai tahap kedua, kemudian turunlah ayat yang terkenal dengan sebutan ayatul-mawarist (permulaan surat An-Nisa'), yang mengatur pembagian harta warisan secara terperinci, yang mengandung nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.  (Sila rujuk semula surah An-Nisa’)

Dengan turunnya ayat yang mengatur warisan itu, maka sebagian ahli-ahli tafsir berpendapat bahwa ayat tentang wasiat tersebut (Al-Baqarah, ayat 180) menjadi mansukh, artinya tidak diberlakukan lagi.

Akan tetapi sebagian ulama-ulama dan ahli tafsir yang lain menyatakan, bahwa ayat mengenai soal wasiat itu masih tetap mempunyai kekuatan hukum. Apalagi sewaktu-waktu masih mungkin ditemukan satu kasus yang pemecahannya dapat menggunakan ayat tersebut. Misalnya, kalau yang meninggal dunia itu seorang anak yang sudah masuk Islam, sedang ibu-bapaknya masih memeluk agama lain, maka orang tuanya itu tidak berhak mendapat pembagian harta warisan bila dipandang dari sudut hukum Islam, karena berlainan agama. Dalam kasus yang demikian itu, si anak dapat meninggalkan pesan supaya memberikan sebagian harta benda yang ditinggalkannya untuk orang tuanya itu, asalkan tidak melampaui ketentuan-ketentuan oleh hukum warisan. Dengan demikian, dilihat dari sudut ajaran Islam, anak tersebut, dapat menjalankan petunjuk Ilahi, yang memerintahkan:

"Dan Kami mewajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya (ibu-bapaknya)." (QS. Al-Ankabut XXIX: 8).

Syarat-syarat wasiat.

Kecuali dalam Al-Quran, pun Hadist Nabi banyak yang menggugah dan mendorong supaya melakukan wasiat itu. Diantaranya:

"Barang siapa mati dengan melakukan wasiat, maka matinya adalah pada jalan Ilahi dan menurut Sunnah, mati dalam keadaan bertakwa dan (mengucapkan) Syahadah, mati dengan mendapat ampunan." (riwayat Ibn Majah).

Adapun syarat wasiat itu ialah:

1. Meninggalkan harta yang banyak.

2. Tidak boleh melebihi 1/3 dari jumlah seluruh harta.

Syarat yang pertama dan utama tentang kewajiban melakukan wasiat itu ialah apabila seseorang meninggalkan harta yang banyak. Ukuran mengenai harta yang banyak itu adalah relatif, sehingga berbeda-beda pendapat para ulama dalam menetapkan standar harta yang banyak itu.

Syekh Muhammad Abduh menyatakan, bahwa dalam menetapkan ukuran itu sangat bergantung kepada keadaan dan itikad baik seseorang, dengan memperhatikan keadaan zaman, kepribadian dan lingkungan rumah tangga. Di negeri yang gersang dan miskin, kalau yang mati meninggalkan harta 70 dinar misalnya, itu sudah termasuk dalam bilangan meninggalkan "harta yang banyak". Tetapi, bagi seorang Raja atau Wazir tentu lain pula ukuran yang dipakai menjadi tolok ukur. (Tafsir Al-Manar).

Dalam hubungan ini, sebagai pedoman dapat digunakan keterangan dari dua buah hadist. Pertama, yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Siti Aisyah (isteri Nabi), yang menceritakan seorang laki-laki mendatanginya dan menyatakan hasratnya untuk melakukan wasiat. Terjadilah dialog antara Aisyah dengan laki-laki tersebut, sebagai berikut:

"Berapa jumlah hartamu?"

"Tiga ribu dirham" - sahut laki-laki itu.

"Berapa banyak anakmu?"

"Empat orang!"

Aisyah kemudian membaca kalam Ilahi: ".....jika kamu meninggalkan harta yang banyak." Dia berkata seterusnya: "Harta itu (3000 dirham) hanya sedikit. Tinggalkanlah untuk anakmu, itu lebih baik.

Hadist yang kedua, yang diriwayatkan oleh Baihaqi, menyatakan:

"Ali bin Abi Thalib mendatangi seorang yang pernah mengasuhnya yang sudah dekat mau mati; dia mempunyai uang 600 - 700 dirham. Laki-laki itu bertanya: Haruskan aku berwasiat? Ali menjawab: tidak perlu, karena Allah SWT hanya berfirman "kalau meninggalkan harta yang banyak." Engkau tidak memiliki harta yang banyak; tinggalkanlah harta tersebut untuk ahli warismu."

Dari kedua hadist itu dapat disimpulkan, bahwa ukuran tentang "meninggalkan harta yang banyak" itu haruslah memperhitungkan kepentingan ahli waris yang ditinggalkan, jangan membuat mereka itu kehilangan atau kekurangan hak menerima bagian harta pusaka.

Syarat yang kedua dalam melakukan wasiat itu tidak boleh melebihi 1/3 dari harta yang ditinggalkan. Hal itu dijelaskan dalam suatu hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sa'ad bin Abi Waqash.

Pada suatu ketika, tatkala Sa'ad bin Abi Waqash sendiri merasa bahwa ajalnya sudah dekat, ia menemui Rasulullah dan bertanya:

"Ya, Rasulullah! Apakah boleh aku mewasiatkan seluruh hartaku?"

"Jangan!" - sahut Rasulullah.

"Kalau separuh, bagaimana?"

"Jangan!"

"Jika sepertiga?"

"Masih banyak. Jika engkau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, itu lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan miskin, mereka hidup meminta-minta kepada manusia."

Dari hadist ini, maka Jumhur Ulama menarik kesimpulan, bahwa tidak dibolehkan membuat wasiat lebih daripada 1/3 jumlah harta benda.

Di sinilah terletak nilai-nilai keadilan ajaran Islam hyang mempertimbangkan jangan sampai mengurangi hak-hak ahli waris menerima bagian mereka masing-masing, dan dengan sendirinya merugikan mereka.

Motif dan hikmah wasiat.

Motif dan hikmah melakukan wasiat itu bagi orang yang banyak mempunyai harta kekayaan ialah sebagai tambahan amal yang masih dapat dilakukan seseorang ketika ajalnya sudah hampir dan dekat. Wasiat itu barulah berlaku apabila orang yang bersangkutan sudah meninggal. Pada hakekatnya, wasiat itu adalah semacam hibah (pemberian) juga. Perbedaan antara hibah dengan wasiat ialah, bahwa hibah itu dilakukan (diberikan) sendiri oleh orang yang bersangkutan ketika dia masih hidup, sedang wasiat, realisasinya, ialah setelah yang berwasiat itu meninggal dunia.

Rasulullah sendiri tidak melakukan wasiat tatkala Beliau akan meninggal dunia, sebab memang beliau tidak meninggalkan harta yang banyak. Akan tetapi, para Khalifah dan sahabat-sahabat banyak yang melakukan wasiat itu. Diantaranya Khalifah Abu Bakar Siddik yang mewasiatkan 1/5 dari harta bendanya; Umar bin Khattab mewasiatkan 1/4 dari kekayaannya. (Tafsir Qurthubi).

Setiap wasiat haruslah dijalankan oleh ahli waris yang tinggal, selama wasiat itu masih dalam batas-batas ketentuan ajaran dan hukum Islam. Orang yang tidak menjalankannya akan memikul sendiri dosanya, seperti yang diperingatkan dalam Al-Quran:

"Barangsiapa yang mengubah wasiat (mengutak-atik wasiat), setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya." (QS. Al-Baqarah II: 181).

Adapun apabila sesuatu wasiat bertentangan dengan hukum dan ajaran Islam, tentu saja tidak boleh dilaksanakan, malah wajib ditinggalkan. Selain daripada wasiat harta di zaman "sekularisme" ini adapula orang yang mewasiatkan kalau dia mati, supaya jenazahnya dibakar, jangan dikuburkan walaupun waktu hidupnya dia mengaku sebagai seorang Islam. Wasiat yang demikian itu tidak boleh dilaksanakan, karena bila dilaksanakan, maka orang yang menjalankannya akan memikul dosa.

Huraian ini adalah untuk menggugah hartawan Islam atau orang-orang yang merasa mempunyai harta yang banyak agar melakukan wasiat pada saat-saat menjelang kematiannya, sebagai tambahan amal ibadahnya pada detik-detik yang terakhir dari kehidupannya. Semoga kita semua beroleh hikmah setelah membaca huraian ini.

Apa itu wasiat

Dari segi bahasa, ahli-ahli fiqh mazhab Syafie berpendapat wasiat berasal dari perkataan “wassa” yang bermaksud menghubungkan atau menyampaikan kebaikan yang dilakukan oleh seseorang semasa hidupnya dengan ganjaran pahala selepas dia meninggal dunia.

Dari segi istilahnya, menurut mazhab Syafie wasiat ialah pemberian suatu hak yang boleh dilaksanakan selepas berlakunya kematian pewasiat sama ada dengan menggunakan lafaz ataupun tidak. Manakala beberapa fuqaha’ lain mentakrifkan wasiat sebagai suatu pemberian oleh seseorang kepada pihak yang lain sama ada benda, hutang atau manfaat untuk dimiliki oleh penerima wasiat akan pemberian tersebut selepas kematian pewasiat.

Manakala tafsiran wasiat menurut Enakmen Wasiat Orang Islam (Negeri Selangor) 1999:

“Wasiat ertinya iqrar seseorang yang diperbuat pada masa hayatnya ke atas hartanya atau manfaat untuk menyempurnakan sesuatu bagi maksud kebajikan atau apa-apa maksud yang dibenarkan menurut Hukum Syarak, selepas dia mati.”

Firman Allah S.W.T yang bermaksud:

“Kamu diwajibkan, apabila seseorang dari kamu hampir mati, jika ia ada meninggalkan harta, (hendaklah ia) membuat wasiat untuk ibubapa dan kaum kerabat dengan cara yang baik (menurut peraturan ugama), sebagai suatu kewajipan atas orang-orang yang bertaqwa”(Surah Al-Baqarah Ayat 180)

Rasulullah s.a.w juga menggalakkan umatnya yang mempunyai harta agar dapat melakukan wasiat semasa hidupnya.

“Seseorang muslim yang mempunyai sesuatu yang boleh diwasiatkan tidak sepatutnya tidur selama dua malam berturut-turut melainkan dia menulis wasiatnya di sisinya”(Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)

“Allah telah memberikan bahagian setiap orang yang berhak. Maka tiada wasiat untuk waris (Riwayat at Tarmizi)

 “Tidak harus wasiat kepada waris kecuali diizinkan oleh waris yang lain” (Riwayat Abu Daud)

Latar Belakang Wasiat

Kelayakan Pewasiat (Musi)

● Berumur lebih 18 tahun;

● Sempurna akal;

● Sukarela dan tidak dipaksa;

● Tidak dihalang mengurus hartanya; dan

● Jika pewasiat sedang sakit, dia hendaklah waras fikiran, baik ingatan dan memahami wasiat dibuat

Syarat Penerima Wasiat (Musolahu)

Musolahu hendaklah orang atau kumpulan orang yang:

● wujud dan diketahui dengan jelas;

● mempunyai kelayakan memiliki harta yang diwasiatkan menurut mana-mana undang-undang bertulis;

● boleh menerima harta yang diwasiatkan menurut Hukum Syarak dan

● jika ditentukan, hendaklah wujud semasa wasiat dibuat dan jika tidak ditentukan, musolahu tidak perlu wujud sama ada wasiat itu dibuat atau semasa musi mati.

Harta Yang Boleh Diwasiatkan

● Harta alih seperti kenderaan, wang tunai, wang simpanan, barang kemas, saham, insurans, hutang dan lain-lain.

● Harta tak alih seperti rumah, tanah, bangunan dan lain-lain.

Kadar Wasiat

● Tidak melebihi kadar 1/3 daripada jumlah keseluruhan harta pusaka

● Mendapat persetujuan ahli waris selepas meninggal dunia sekiranya melebihi kadar 1/3

Galakan Berwasiat

● Orang yang berharta

● Orang yang lanjut usia

● Orang yang tidak berkahwin

● Orang yang mempunyai anak angkat

● Orang yang berhutang

● Orang yang tiada waris

● Muallaf

OBJEKTIF  WASIAT

● Menggalak dan memudahkan penyertaan umat Islam dalam berwasiat

● Memperluas peranan MAIS sebagai badan yang mengurus harta umat Islam

● Menyubur perasaan kasih sayang di antara pewasiat dan penerima wasiat

● Melunaskan impian pewasiat yang menginginkan sesuatu hasrat ke atas hartanya

Faedah Berwasiat

● Cara terbaik mengurus harta selepas kematian

● Mengelakkan perbalahan di antara ahli keluarga

● Menyelesaikan masalah pembahagian harta kepada anak angkat atau anak tiri

● Mendidik jiwa umat Islam cintakan amalan kebajikan

Sumber Artikel: http://www.mais.net.my/index.php?option=com_content&view=article&catid=27&id=144&Itemid=17